Sanksi
Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) kepada Indonesia membuat nasib sekitar 11.000
pemain sepak bola profesional Indonesia tak menentu. Kompetisi yang harus
berhenti membuat ribuan pemain tak mempunyai penghasilan.
Padahal, sebagian besar pemain menggantungkan hidupnya pada kompetisi sepak bola. Kalau mau dilihat lebih jauh lagi, keluarga para pemain pun menggantungkan hidup kepada pada roda kompetisi. Dampak sanksi FIFA hingga penghentian kompetisi membuat nasib puluhan ribu orang juga tak menentu.
Belum lagi jika menghitung nasib wasit, ofisial, perangkat pertandingan, maupun pihak lain yang berhubungan dengan kompetisi tersebut. Pemerintah harus melihat bahwa puluhan ribu orang terdampak dengan berhentinya kompetisi ini. Bola ada di pemerintah karena pembekuan induk Organisasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) dilakukan oleh pemerintah.
Artinya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus mempunyai solusi bagi puluhan ribu orang tersebut. Memang mereka berjanji akan membuat kompetisi yang lebih baik dari kompetisi sebelumnya. Tapi, itu membutuhkan waktu yang panjang, sedangkan hidup puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut tidak bisa menunggu waktu yang panjang.
Pun dengan janji Kemenpora menggelar kompetisi Piala Kemerdekaan itu belum menjadi solusi konkret dan permanen untuk menjamin puluhan ribu individu yang terdampak. Jika janji menggelar kompetisi lebih baik itu adalah solusi jalan panjang yang masih membutuhkan proses panjang.
Padahal, puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut butuh solusi jangka pendek yang cepat. Apakah pemerintah cukup mengatakan, seluruh pemain harus bersabar dan menunggu kompetisi yang dijanjikan akan bergulir. Tentu tidak. Hal lain yang pantas dicermati, apakah kompetisi yang dijanjikan pemerintah nanti bisa menjamin posisi para pemain lebih baik?
Selama ini, harus diakui, dalam kompetisi-kompetisi sebelumnya para pemain hanya menjadi objek dari gelaran sepak bola di Tanah Air. Mereka seolah menjadi objek dari klub maupun penyelenggara kompetisi untuk meraup untung baik materi maupun nonmateri. Padahal, layaknya sebuah kompetisi profesional, pemain adalah subjek, bukan objek.
Kita lihat bagaimana petinju profesional Mayweather Junior ataupun Manny Pacquiao bisa menjadi subjek dalam megaduel beberapa waktu lalu. Mereka bisa menentukan mau bertanding atau tidak, dari nama keduanya pun bisa mengalir uang triliunan rupiah serta mereka pun mendapatkan bayaran yang fantastis. Begitu juga dengan para pemain sepak bola profesional di negeri Eropa.
Betapa mereka dihargai dengan baik. Tak hanya materi yang berlimpah, tapi juga nonmateri yang cukup bagus oleh klub maupun federasi. Karena klub dan federasi sadar, kompetisi menjadi menarik karena ada pemain sepak bola. Para pemain bisa mendapat ”cipratan” uang sponsor, uang hak siar, bahkan hasil dari penjualan merchandise.
Kontrak mereka dibuat setara di mata hukum dengan klub. Jika klub bermasalah, pemain siap menggugat. Para pemain Italia pernah mengancam tidak bermain terkait hak siar, begitu juga dengan para pemain Spanyol pernah melakukan hal yang sama. Beberapa tahun yang lalu para pemain liga basket Amerika Serikat (AS) NBA bahkan mampu membuat molor kompetisi karena hakhak mereka tidak dipenuhi.
Nah, di Indonesia, apakah para pemain sudah diberlakukan dengan baik seperti di atas? Belum. Gaji pemain yang telat, bahkan tidak dibayar oleh klub masih menjadi problem mendasar pada kompetisi sebelumnya. Lalu, pemerintah pascasanksi FIFA menjanjikan kompetisi yang lebih baik. Pertanyaannya, apakah kompetisi itu nanti juga mampu memosisikan pemain sebagai subjek sehingga hak-hak mereka bisa dijamin dengan baik?
Jika dalam kompetisi bentukan pemerintah nanti juga tidak bisa menjamin hak-hak pemain, apakah kompetisi tersebut dikatakan lebih baik? Tentu tidak. Intinya, dalam kompetisi sepak bola pemain adalah subjek. Solusi jangka pendek dan panjang yang harus segera dibuat pemerintah mesti tetap mengacu bahwa pemain sepak bola Indonesia harus menjadi subjek, bukan sebagai objek lagi.
Sanksi FIFA ditanggapi dalam
berbagai pandangan. Umumnya para pencinta sepakbola sangat menyayangkan dengan
keluarnya sanksi FIFA tersebut oleh karena yang rugi adalah kita sendiri.
Tanggapan yang sangat ekstrim antara lain adalah menyesalkan mengapa Menpora
Imam Nahrowi tidak mencabut surat keputusan pembekuan PSSI sebelum tenggat
waktu yang diberikan FIFA yaitu 29 Mei 2015 lalu.
Celakanya, Jokowi menanggapi santai
saja sanksi yang dikeluarkan FIFA terhadap Indonesia. Bahkan ia dengan enteng
mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia mau ikut pertandingan Internasional
atau berprestasi dalam ruang lingkup Dunia. Lebih lanjut dikatakan bahwa sudah
lama sekali Indonesia tidak punya prestasi dalam sepakbola. Oleh karena itu
pembenahan terhadap PSSI akan berjalan terus.
Dengan adanya pernyataan Jokowi maka
beragam reaksi bermunculan. Sampai-sampai ada yang berkomentar yang sepertinya
bercanda dan menyindir pernyataan Jokowi dengan mengatakan : ‘lieuer kang’.
Atau, ‘pusing mas’. Pasti akan banyak komentar, respons, dan opini yangakan
muncul dalam sehari dua hari ini terhadap sanksi FIFA dan kaitannya dengan
pernyataan surat keputusan Menpora untuk membekukan PSSI, dan utamanya terhadap
pernyataan Presiden Jokowi.
Potensi bisnis sepak bola:
Awalnya ada segelintir elite
olahraga kita yang menganggap bahwa FIFA tidak akan sembarangan menjatuhkan
sanksi kepada Indonesia mengingat potensi sepakbola yang besar di Indonesia
ditambah dengan populasi Indonesia yang besar. Ini dikaitkan dengan potensi
bisnis sepakbola di negara kita. Tepatnya penonton sepakbola yang begitu besar,
diperkirakan FIFA tidak akan berani memberikan sanksi kepada Indonesia.
Mereka yang menganggap sepi peluang
jatuhnya sanksi FIFA terhadap Indonesia salah prediksi. Ini bisa dimaklumi
karena landasan prediksi tersebut salah karena tidak mengerti peraturan yang
berlaku dalam FIFA khususnya yang terkait dengan kewajiban anggota serta apa
yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Tentu saja sanksi tersebut
tidak ada kaitan dengan populasi suatu negara anggota FIFA. Juga aspek bisnis
tidak masuk hitungan FIFA. Bahkan kalau ada yang mengangggap potensi bisnis
sepakbola yang sangat besar di Indonesia, nampaknya ini kesimpulan yang tidak
tepat.
Akan halnya potensi bisnis sepakbola
di Indonesia, yang harus menjadi basis adalah daya beli masyarakat kita.
Walaupun secara populasi Indonesia menduduki negara nomor empat di dunia, daya
belinya jauh di bawah banyak negara maju. Ini terlihat dengan harga tiket untuk
menonton pertandingan sepakbola relatif rendah. Tidak heran jika gaji
para pemain sepakbola profesional di Indonesia tidak besar. Sementara nilai
transfer pemain juga kecil. Fakta lain bahwa klub-klub sepakbola kita kemampuan
secara finansial tidak besar.
Walau begitu, banyak pihak
memperkirakan bahwa potensi sepakbola kita akan meningkat seiring dengan
meningkatnya laju pembangunan yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli
masyarakat Indonesia. Faktor ini memang tidak dipandang sebelah mata oleh para
sponsor. Bagaimanapun sepakbola sudah merupakan industri.
Sanksi FIFA:
Sanksi FIFA terhadap Indonesia
mempunyai implikasi yang sangat luas. Beberapa konsekuensi dari sanksi
FIFA adalah bahwa PSSI kehilangan hak-haknya sebagai anggota FIFA, seperti
tertera dalam statuta FIFA pasal 12 ayat 1. Selain itu, semua
tim sepakbola Indonesia, baik tim Nasional maupun klub-klubnya dilarang
berhubungan keolahragaan dengan anggota FIFA yang lain termasuk AFC
(Konfederasi Sepakbola Asia). Juga termasuk larangan untuk mengikuti
kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan oleh FIFA dan AFC, sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 14 ayat 3. Aspek lain adalah bahwa PSSI dan para offisialnya
tidak akan memperoleh hak terkait program-program pengembangan FIFA, serta
pelatihan-pelatihan selama masa berlakunya sanksi.
Kalau ditelaah secara mendalam,
makna dari sanksi FIFA terhadap Indonesia sangat besar dan luas. Artinya,
kerugian yang kita alami sangat besar. Kehilangan hak untuk mengikuti
pertandingan internasional berarti peluang pemain-pemain kita baik klub maupun
tim Nasional untuk meningkatkan kualitas sudah tidak ada lagi.
Kompetisilah yang membuat para pemain sepakbola menjadi lebih berkualitas.
Dengan bertanding melawan tim-tim dan klub-klub bermutu akan banyak pelajaran
yang diperoleh para pemain kita.
Kerugian dalam aspek bisnis juga
sangat besar. Apalagi dengan dibekukannya PSSI maka dana sponsor tidak akan
mengalir. Sementara dana bantuan pengembangan sepakbola FIFA otomatis akan
distop. Kerugian ini mempunyai efek berantai, mulai dari pemain, klub, karyawan
klub, pengelola dan karyawan lapangan, wasit dan juru garis, bahkan sampai
penjaja makanan yang selalu siap saat pertandingan sepakbola berlangsung.
Bagaimana dengan sponsor? Jelas dana akan disalurkan ke sektor lain. Tentu saja
sponsor juga akan rugi dengan kondisi seperti ini. Alhasil, tidak ada yang
untung.
Mau ke mana?:
Aspek lain yang tidak kalah menarik
untuk dibahas adalah reaksi pemerintah Indonesia (baca :Presiden Jokowi)
terhadap sanksi FIFA. Jokowi mengatakan bahwa sanksi FIFA harus disikapi
dengan positif. Dalam kaitan ini, Jokowi mengatakan bahwa pembenahan total
dalam tubuh PSSI merupakan keinginan pemerintah. Artinya , reformasi total,
pembenahan organisasi, pembenahan sistem, dan pembenahan manajemen.
Di bagian lain dalam penjelasannya,
Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah ingin sepakbola Indonesia menjadi
lebih baik dengan berprestasi. Selama ini tim sepakbola kita kalah lagi, kalah
lagi, yang artinya tidak memiliki prestasi. Walau begitu, pernyataan Jokowi
masih bisa diperdebatkan karena kita pernah punya prestasi. Hanya saja
akhir-akhir ini, tim Nasional sepakbola kita sudah jarang menjadi juara pertama.
Padahal dalam sepakbola, kita tidak bisa melihat hanya hitam putih. Tiap
kompetisi selalu mempunyai konteks yang berbeda, karena sifatnya yang berbeda
dan lawannya yang juga berbeda.
Jokowi juga menyebutkan bahwa
kita harus memilih antara main di Internasional atau prestasi Internasional.
Pernyataan Jokowi ini seperti pedang bermata dua-bisa ‘membunuh lawan’ atau
‘membunuh diri sendiri’. Kalau kita pakai logika tersebut, berarti kita harus
siap-siap untuk mengundurkan diri dari setiap cabang olahraga Internasional
jika kita tidak punya prestasi. Ini bisa dikuliti satu persatu. Mulai saja
dengan badminton yang puluhan tahun lalu kita mendominasi Dunia, sekarang
praktis dikuasai oleh Tiongkok. Bagaimana dengan bola volley, atletik, dan bola
basket? Apalagi renang kita yang jalan di tempat kalau memakai logika
Jokowi,-berarti kita harus keluar dari FINA?.
Kembali kepada sepakbola kita, FIFA
akan mencabut sanksinya dan memulihkan keanggotaan Indonesia apabila dipenuhi
empat syarat yang utamanyaadalah bahwa urusan sepakbola dikelola secara
independen oleh PSSI. Jangan lupa bahwa tata tertib pada setiap organisasi
olahraga Internasional sangat jelas. FINA tidak segan untuk menjatuhkan
skorsing kepada Phelps walau ia adalah juara Dunia. Organisasi atletik Internasional,
IAAF, sudah sering menjatuhkan skorsing kepada atlet-atlet tingkat Dunia yang
melanggar peraturan.
Dalam soal sepakbola Indonesia yang
konon tim transisi akan mengadakan kongres Luar Biasa jelas ini salah kaprah
jika sampai dilaksanakan. Kalau kita tidak dalam FIFA, apakah kita mau
bergabung dengan organisasi sepakbola non-FIFA yang disebut VIVA? Organisasi
ini antara lain anggotanya adalah provinsi Basque, Spanyol dan Siprus Utara.
Dulu Gibraltar dan kepulauan Faroe adalah anggota VIVA, belakangan menjadi
anggota FIFA. Padahal negara-negara kecil saja seperti San Marino, Andorra, dan
Lichtenstein adalah anggota FIFA, seperti halnya negara-negara kecil di Pasifik
dan Karibia. Apakah Indonesia mau mundur dengan tidak menjadi anggota
FIFA? Pertanyaan ini harus dijawab secepatnya sebelum makin besarnya kerugian
yang kita hadapi dari segi ekonomi, bisnis, psikologi, dan sosiologi.
Satu-satunya jawaban adalah mengembalikan wewenang sepakbola kepada PSSI. Tentu
disyaratkan agar PSSI memiliki komitmen penuh dalam melakukan revitalisasi
dalam tubuh PSSI untuk meningkatkan prestasi sepakbola secara bertahap namun
pasti.
Pembekuan
PSSI oleh FIFA ditetapkan lewat rapat Komite Eksekutif FIFA pada 30 Mei (2015).
Keputusan tersebut diambil setelah PSSI dinyatakan bersalah melanggar pasal 13
dan pasal 17 Statuta FIFA, yang merupakan akibat dari campur tangan pemerintah
terhadap urusan rumah tangga PSSI.
Secara garis besar, sepak bola Indonesia kini dikucilkan dari segala kegiatan persepakbolaan internasional, termasuk semua kegiatan untuk usia muda, pembinaan, pelatihan, dan pendanaan. Berikut ini detilnya:
Secara garis besar, sepak bola Indonesia kini dikucilkan dari segala kegiatan persepakbolaan internasional, termasuk semua kegiatan untuk usia muda, pembinaan, pelatihan, dan pendanaan. Berikut ini detilnya:
Indonesia tergabung dalam Grup F
tetapi kini telah dikeluarkan dari kompetisi. Semua pertandingan Indonesia yang
telah dijadwalkan, termasuk pada Juni 2015 (lawan Taiwan pada 11 Juni dan lawan
Irak pada 16 Juni), telah dibatalkan. FIFA telah menyampaikan teknis cara
penghitung posisi kedua terbaik kepada para peserta lainnya, terkait perubahan
komposisi peserta setelah Indonesia dikeluarkan.
Indonesia telah dihapus dari daftar peserta dalam kompetisi ini dan tidak akan ikut serta dalam undian grup pada 5 Juni. Mekanisme pengundian telah diperbarui dan dikirimkan kepada tim berpartisipasi. Karena pembekuan ditetapkan sebelum pengundian, maka tidak mengubah jumlah grup di kompetisi ini.
Indonesia telah dihapus dari daftar peserta dalam kompetisi ini dan tidak akan ikut serta dalam undian grup pada 5 Juni. Mekanisme pengundian telah diperbarui dan dikirimkan kepada tim berpartisipasi. Karena pembekuan ditetapkan sebelum pengundian, maka tidak mengubah jumlah grup di kompetisi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar