Partai Golkar, hari –hari ini
tengah dilanda kemelut internal yang dahsyat. Kemelut dahsyat itu dipicu sikap
Aburizal Bakrie, alias ARB, alias Ical, yang ngotot maju kembali menjadi calon
ketua umum. Perpecahan pun tak lagi terbendung. Setelah Agung Laksono (Wakil
Ketua Umum) bersama para sekutunya sesame rival ARB membentuk Presidium
Penyelamat Partai Golkar (P3G). Beberapa jam sebelum tercetusnya P3G, pecah ‘insiden
AMPG di kantor DPP Golkar, saat pengurus DPP sedang membahas tindak lanjut
keputusan Rapimnas Yogyakarta perihal Pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas)
IX pada 30 November 2014.
Beda pendapat soal jadwal
pelaksanaan Munas menjadi alasan terpecahnya partai beringin. Kubu ARB, untuk
dan atas nama mengamankan keputusan Rapimnas Yogyakarta, bersikeras
melaksanakan Munas pada 30 November. Sedangkan kubu Agung Laksono menuntut
Munas tetap diselenggarakan pada Januari 2015 sesuai keputusan Rapat Pleno DPP Golkar
yang linear dengan hasil Munas VIII Pekanbaru 2009. Alasan yuridis yang
dikemukakan kubu ARB adalah kedudukan hokum Rapimnas lebih tinggi dibandingkan
Rapat Pleno DPP, dan berada satu tingkat dibawah Munas, alhasil bila tidak ada
hal luar biasa yang memaksa terjadinya penundaan, maka Munas IX Golkar bakal
tetap digelar di Bali pada 30 November
hingga 3 Desember.
Seorang tokoh Golkar asal Nusa
Tenggara Timur, Melchias Markus Mekeng, yang juga seorang intelektual ekonomi,
melukiskan perihal dahsyatnya kemelut di tubuh Golkar dengan pernyataan agak
menyengat, yakni “ada manipulasi demokrasi di Golkar”. Seolah-olah ada
demokrasi di Golkar padahal sebenarnya tidak. Demokrasi di Golkar hanyalah
kemasan. Pernyataan ini mengandung makna bahwa yang terjadi di Golkar
sebenarnya adalah “demokrasi seolah-olah”. Dalam perkembangan terkini, seperti
dikutip beberapa media social, Mekeng melakukan perlawanan terbuka terhadap
ARB. Terkini, anggota DPR-RI asal NTT ini, melemparkan pernyataan yang lebih
menyengat, bahwa ARB lebih focus mengurusi masalah hutangnya daripada mengurus
partai atau Negara.
Sebagai partai tertua dalam
sejarah politik kontemporer Indonesia, Golkar tentu memiliki kematangan dalam
urusan pelembagaan demokrasi. Dalam banyak pengalaman konflik kepartaian,
Golkar mempunyai daya tahan yang tangguh dalam mengelola konflik faksionalitas
di dalam tubuhnya sendiri. Alhasil, Golkar menjadi semacam rujukan atau tolak
ukur dari kemajuan peradaban budaya demokrasi di Indonesia. Suka tidak suka,
senang tidak senang, para pihak lain di luar Golkar pun mesti mengakui bahwa
Golkar memiliki kematangan politik dalam hal pengelolaan kehidupan
berdemokrasi.
Kini, mengapa Golkar bisa
terpecah? Mengapa pula ada elemen Golkar yang tergoda melakukan huru-hara
fisik, padahal kekuatan Golkar selama ini justru berada di area rasionalitas,
area dimana wacana dan pemikiran subur berproduksi? Dengan demikian, perpecahan
Golkar saat ini menjadi penanda yang sungguh berbahaya bagi Golkar sendiri,
bahwa partai yang sarat pengalaman ini justru sedang berjalan mundur memasuki
fase kegelapan demokrasi. Perpecahan dan huru-hara fisik yang terjadi, dengan
demikian boleh disebut “anomaly (keanehan)” terbesar di tubuh Golkar. Quo vadis
Golkar usai retak? Mau kemana Golakr yang kini tertampar oleh anomaly politik
memalukan itu?
Perpecahan ditubuh Golkar
akibat manuver dan saling telikung diantara para calon ketua umum, yakni antara
calon incumbent (ARB) si satu sisi
dan dengan para seterunya antara lain Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus
Gumiwang Kartasasmita, dan Airlangga Hartanto, bakal merembes secara cepat ke
area barisan kader Golkar, mulai dari level pusat hingga ke struktur kecamatan
bahkan desa. Pun, bakal mengganggu sangat serius soliditas organisasi pendiri
dan yang didirikan Golkar (baca : kino Golkar).
Kubu-kubu yang bertikai di
Golkar berupaya menunjukan sikap tulus untuk menjaga eksistensi sekaligus masa
depan partai. Namun, seperti lazimnya, di panggung partai praktis sungguh sulit
mengukur kadar ketulusan. Yang bissa ditakar hanyalah kepentingan. Bila
kepentingan saling bertautan, maka ketulusan dating menampakkan wajah. Tapi,
bila kepentingan saling berpunggungan, maka ketulusan pun pergi memalingkan
rupa.
Apa gerangan yang membuat ARB
bersikeras maju kembali menjadi calon ketua umum? Apa pula alasan yang membuat
Agung Laksono cs bersikeras menghadang langkah ARB? Ragam spekulasi politik pun
berseliweran. Dalam konteks politik kekinian, spekulasi terkuat yang melatari
huru-hara Golkar adalah “political positioning” terhadap rezim berkuasa hasil
Pilpres 2014. Ada tarik-menarik yang kuat antara kubu yang menginginkan Golkar
ikut koalisi rezim berkuasa, dengan kubu yang menghendaki Golkar melakoni
kekuatan barunya kekuatan oposan.
Di ranah parlemen, Golakr
menjadi pemain kunci dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri vis a vis dengan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH). Tampaknya ARB berkepentingan mengawal peran sentral Golkar di KMP.
Sedangkan para seteru ARB sangat mungkin menggiring Golkar berkoalisi dengan
rezim berkuasa. Kendati dianggap kurang berpretasi memimpin Golkar selama 5
tahun berjalan, tapi satu hal yang patut diapresiasi pada ARB adalah
kemampuannya membentuk watak baru Golkar sebagai kekuatan oposan, idem ditto
penyeimbang. Mungkin konsistensi menjadi kekuatan penyeimbang ilmiah yang
sedang jadi pertaruhan ARB. Respek kolektif Golkar pada ARB sangat mungkin
berlipatganda jika dia secara legowo
membuka jalan regenerasi.
Jika sebelumnya sangat
diharapkan bahwa pemerintah bisa memberikan keputusan yang akan ditepati kedua
kubu dengan keluarnya keputusan Menteri Hukum Dan Ham Yassona Laoly yang
mengesahkan kepengurusan Agung Laksono sebagai pengurus yang sah.
Maka keputusan pemerintah ini
melalui kementrian Hukum dan Ham belum menyelesaikan kisruh Golkar karena
kepengerusan partai Golkar Ical merasa tidak puas akan keputusan tersebut
dianggap sebagai keputusan pemerintah yang mengintervensi partai Golkar.
Namun sebalikinya justru
pemerintah melalui menteri Hukum Dan Ham Yassona Laoly mengatakan bahwa keputusan
tersebut berdasarkan keputusan sidang mahkamah partai Golkar dan hal inilah
menjadi acuan pemerintah untuk mengesahkan kepengurusan Agung Laksono sebagai
pengurus Golkar yang sah.
Memang tidak bisa dipungkiri
jika Golkar terus kisruh maka dapat dipastikan partai beringin tersebut tidak
akan mampun mengikuti pilkada di beberapa tahun ini atau tahun depan namun
dengan adanya keputusan kementrian Hukum dan Ham tersebut merupakan sebuah
keputusan yang sangat tepat sehingga partai Golkar tetap bisa berpartisipasi
mengusung calon kepala daerah pada pilkada tahun ini atau tahun depan.
Keputusan ini bukan hanya
membawa dampak seperti keikutsertaan partai Golkar dalam pilkada sudah didepan
mata, namun dampak lainnya akibat yang diakui adalah kepengurusan partai Golkar
kubu Agung Laksono yang sudah berjanji akan keluar dari koalisi KMP dan
bergabung mendukung KIH.
Ancaman terpecahnya KMP
tentunya sebuah konsekuensi politik logis yang begitu mahal akibat kubu Ical
yang memotori KMP tidak diakui sebagai penguruh yang sah justru terpilih Agung
Laksono yang ingin membawa Golkar keluar dari KMP.
Berbagai carapun dilakukan KIH
untuk menyelamatkan kepengurusan Golkar pimpinan Ical termasuk mengancam hak
angket kepada menteri Hukum dan Ham Yassona Laoly.
Bahkan Ical menyewa pengacara
hebat yaitu Yusril Ihza Mahendra untuk membatalkan keputusan menteri Hukum dan
Ham melalui gugatan yang diajukan ke PTUN.
Namun ada yang menarik, justru
Yusril Ihza Mahendra seperti diikuti dari kompas.com mengakui bahwa
kepengurusan partai golkar yang sah adalah Agung Laksono pada saat ini.
Sebagai seorang advokat sikap
bang Yusril Ihza Mahendra bisa menjadi contoh bagi advokat lainnya yang
menangani perkara harus berani berkata sesuai dengan hati nurani jangan sampai
melakukan pembelaan membabi buta kepada klien meskipun hal tersebut
bertentangan dengan hati nurani seorang advokat sebagai penegak hukum.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar