TUGAS KELOMPOK
SOFTSKILL ETIKA BISNIS BAB 9
NAMA
KELOMPOK :
· Cheria
Puspitaningrum (11213883)
· Fairuz Ika
Purwandari (13213105)
· Felly
Aulia (13213399)
· Rahayu Eka Rizkiyanti (17213150)
KELAS : 4EA23
Universitas Gunadarma
2016
Mata
Kuliah : Etika Bisnis
Bab
9 : Hubungan Perusahaan
dengan Stakehoulder, Lintas Budaya dan Pola
Hidup, Audit Sosial
ü BENTUK STAKEHOULDER
Pengertian stakeholder dalam konteks
ini adalah tokoh – tokoh masyarakat baik formal maupun informal, seperti
pimpinan pemerintahan (lokal), tokoh agama, tokoh adat, pimpinan organisasi
social dan seseorang yang dianggap tokoh atau pimpinan yang diakui dalam
pranata social budaya atau suatu lembaga (institusi), baik yang bersifat
tradisional maupun modern.
1. Stakeholder
Utama (Primer)
Stakeholder
utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung
dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai
penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
2. Stakeholder
Pendukung (Sekunder)
Stakeholder
pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan
secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki
kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan
berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
3. Stakeholder
Kunci
Stakeholder
kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal
pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif
sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Stakeholder kunci untuk suatu
keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten.
Yang termasuk dalam stakeholder kunci yaitu :
1. Pemerintah
Kabupaten
2. DPR Kabupaten
3. Dinas yang
membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
ü STEREOTYPE,
PREJUDICE, STIGMA SOSIAL
Stereotipe adalah penilaian terhadap
seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut
dapat dikategorikan. Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan
secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan
membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat.
Namun, stereotipe dapat berupa prasangka positif dan
juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan
diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif.
Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang
benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki
pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada
pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut,
dan konflik antarkelompok.
Sosiolog menekankan pada hubungan di
antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis
berorientasi psikoanalisis (mis. Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe
secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan
seseorang kepada orang lainnya, tanpa
mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu
sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam
beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur.
PRASANGKA (Prejudice). Secara
terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa
Latin.Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002).
Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang
semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron &
Byrne, 1991).
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam
tiga kategori.
- Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
- Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
- Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Stigma sosial adalah tidak
diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena kepercayaan bahwa orang
tersebut melawan norma yang ada. Stigma sosial sering menyebabkan pengucilan
seseorang ataupun kelompok.
Contoh sejarah stigma sosial dapat terjadi pada orang
yang berbentuk fisik kurang atau cacat mental, dan juga anak luar kawin,
homoseksual atau pekerjaan yang merupakan nasionalisasi pada agama [1][2]) atau
etnis, seperti menjadi orang Yahudi atau orang Afrika Amerika. Kriminalitas
juga membawa adanya stigma sosial.
ü MENGAPA
PERUSAHAAN HARUS BERTANGGUNG JAWAB
Suatu organisasi, khususnya
(namun bukan hanya) perusahaan adalah
memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku
kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", yakni suatu organisasi,
terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan
keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya
tingkat keuntungan atau deviden, tetapi
juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya
itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan
pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap
tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi
dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku
kepentingannya.
ü KOMUNITAS
INDONESIA DAN ETIKA BISNIS
Indonesia
memerlukan suatu bentuk etika bisnis yang sangat spesifik dan sesuai denga
model indonesia. Hal ini dapat di pahami bahwa bila ditilik dari bentuknya,
komunitas Indonesia, komunitas elite, dan komunitas rakyat. Bentuk – bentuk
pola hidup komunitas di indonesia sangat bervariasi dari berburu meramu sampai
dengan industri jasa.
Dalam
suatu kenyataan di komunitas indonesia pernah terjadi mala petaka kelaparan di
daerah Nabire Papua. Bahwa komunitas Nabire mengkonsumsi sagu, pisang, ubi dan
dengan keadaaan cuaca yang kemarau tanah tidak dapat mendukung pengolahan bagi
tanaman ini, kondisi ini mendorong pemerintah dan perusahaan untuk dapat
membantu komunitas tersebut. Dari gambaran ini tampak bawa tidak adanya rasa
empati bagi komunitas elite dan perusahaan dalam memahami pola hidup komunitas
lain.
Dalam
konteks yang demikian, maka di tuntut bagi perusahaan untuk dapat memahami
etika bisnis ketika berhubungan dengan stakeholder di luar perusahaannya
seperti komunitas lokal atau kelompok sosial yang berbeda pola hidup.
Seorang
teman Arif Budimanta mensitir kata–kata sukarno presiden pertama indonesia yang
menyatakan bahwa “tidak akan di serahkan pengelolaan sumber daya alam Indonesia
kepada pihak asng sebelum orang Indonesia mampu mengelolanya”, kalimat ini
terkandung suatu pesan etika bisnis yang teramat dalam bahwa sebelum bangsa
Indonesia dapat menyamai kemampuan asing, maka tidak akan mungkin wilayah
Indonesia di serahkan kepada asing (pengelolaannya).
Jati
diri bangsa perlu digali kembali untuk menetapkan sebuah etika yang berlaku
secara umum bagi komunitas Indonesia yang multikultur ini. Jati diri merupakan
suatu bentuk kata benda yang bermakna menyeluruh sebagai sebuah kekuatan
bangsa.
ü DAMPAK TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN
Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan apabila dilaksanakan dengan benar, akan memberikan
dampak positif bagi perusahaan, lingkungan, termasuk sumber daya manusia,
sumber daya alam dan seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat. Perusahaan
yang mampu sebagai penyerap tenaga kerja, mempunyai kemampuan memberikan peningkatan
daya beli masyarakat, yang secara langsung atau tidak, dapat mewujudkan
pertumbuhan lingkungan dan seterusnya. Mengingat kegiatan perusahaan itu
sifatnya simultan, maka keberadaan perusahaan yang taat lingkungan akan lebih
bermakna.
Pada
dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam,
pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi
eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian
nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan
perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan
lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai
negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang bersangkutan
mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau seberapa luas
perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan.
Perusahaan
yang pada satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa
kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu saat yang sama dapat
menjadi sumber petaka pada lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi
pencemaran lingkungan atau bahkan menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan
lain yang lebih luas.
Jadi
perusahaan akan mempunyai dampak positif bagi kehidupan pada masa-masa yang
akan datang dengan terpeliharanya lingkungan dan semua kepentingan pada
pemangku kepentingan yang lain sehingga akan menghasilkan tata kehidupan yang
lebih baik. Sebaliknya para penentang pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab
sosial perusahaan secara formal berpendapat apabila tanggung jawab tersebut
harus diatur secara formal, disertai sanksi dan penegakan
hukum yang riil. Hal itu akan menjadi beban perusahaan. Beban perusahaan
akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Oleh
karena itu tanggung jawab sosial perusahaan sangat tepat apabila tetap sebagai
tanggung jawab moral, dengan semua konsekuensinya.
ü MEKANISME
PENGAWASAN TINGKAH LAKU
Mekanisme dalam pengawasan terhadap
para karyawan sebagai anggota komunitas perusahaan dapat dilakukan berkenaan
dengan kesesualan atau tidaknya tingkah laku anggota tersebut denga budaya yang
dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan.
Mekanisme pengawasan tersebut berbentuk audit sosal
sebagai kesimpulan dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebelumnya.
Monitoring da evaluasi terhadap tingkah laku anggota suatu perusahaan atau
organisasi pada dasarnya harus dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan
secara berkesinambugan. Monitoring yang dilakuka sifatnya berjangka pendek
sedangkan evaluasi terhadap tingkah laku anggota perusahaan berkaitan dengan
kebudayaan yang berlaku dilakukan dalam jangka panjang.
Hal dari evaluasi tersebut menjadi
audit sosial.Pengawasa terhadap tingkah laku dan peran karyawan pada dasarnya
untuk menciptakan kinerja karyawan itu sendiri yang mendukung sasaran dan
tujuan dari proses berjalannya perusahaan. Kinerja yang baik adalah ketika
tindakan yang diwujudkan sebagai peran yang sesuai dengan status dalam pranata
yang ada dan sesuai dengan budaya perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena
itu, untuk mendeteksi apakah budaya perusaaan telah menjadi bagian dalam
pengetahuan budaya para karyawannya dilakukan audit sosal dan sekaligus
merencanakan apa aja yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk menguatkan
nilai-nilai yang ada agar para karyawan sebagai anggota perusahaan tidak
memunculkan pengetahuan budaya yang dimilikinya di luar lingkungan perusahaan.
Dalam kehdupan komunitas atau
komunitas secara umum, mekanismne pengawasan terhadap tindakan anggota-anggota
komunitas biasanya berupa larangan-larangan dan sanksi-sanksi sosial yang
terimplementasi di dalam atura adat. Sehingga tam[pak bahwa kebudayaan menjadi
sebuah pedoman bagi berjalannya sebuah proses kehidupan komunitas atau
komunitas. Tindaka karyawan berkenaan dengan perannya dalam pranata sosial
perusahaan dapat menen tukan keberlangsungan aktivitas.
Foto
Kelompok
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar